Habib Rizieq Syihab, MA
Ketua Umum DPP FPI
Dilema Partai Islam
Keberadaan dan keikutsertaan Partai Islam dalam sistem Negara Demokrasi menjadi dilema. Di satu sisi, Sistem Demokrasi bukan bagian dari Sistem Islam, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Namun di sisi lain, ada kepentingan umat Islam yang harus dijaga dan dilindungi serta dibela melalui sistem kenegaraan. Manakala negara hanya menyediakan koridor demokrasi dalam sistem politiknya, maka Partai Islam pun dipaksa untuk menempuh jalur yang tersedia.
Dalam menyikapi Sistem Demokrasi di kalangan Gerakan Islam hanya ada dua kelompok politik : Pertama, menolak Sistem Demokrasi secara mutlak dan memilih untuk melakukan perlawanan, baik secara fisik mau pun non fisik, baik secara tertutup mau pun terbuka. Kelompok ini secara prinsip adalah kelompok yang paling ideal, namun jika tidak diikuti dengan strategi dan tak-tik yang baik, maka sering tampil eksklusif dan terkadang terlihat tidak realistis, bahkan cita-cita mulianya dinilai oleh banyak kalangan sebagai sesuatu yang utopis.
Kedua, membolehkan Sistem Demokrasi dalam kondisi darurat atau hajat yang sangat, seperti negara yang tidak menyediakan koridor politik kecuali hanya Sistem Demokrasi dan disana ada kepentingan umat Islam yang wajib dijaga dan dilindungi.
Ketua Umum DPP FPI
Dilema Partai Islam
Keberadaan dan keikutsertaan Partai Islam dalam sistem Negara Demokrasi menjadi dilema. Di satu sisi, Sistem Demokrasi bukan bagian dari Sistem Islam, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Namun di sisi lain, ada kepentingan umat Islam yang harus dijaga dan dilindungi serta dibela melalui sistem kenegaraan. Manakala negara hanya menyediakan koridor demokrasi dalam sistem politiknya, maka Partai Islam pun dipaksa untuk menempuh jalur yang tersedia.
Dalam menyikapi Sistem Demokrasi di kalangan Gerakan Islam hanya ada dua kelompok politik : Pertama, menolak Sistem Demokrasi secara mutlak dan memilih untuk melakukan perlawanan, baik secara fisik mau pun non fisik, baik secara tertutup mau pun terbuka. Kelompok ini secara prinsip adalah kelompok yang paling ideal, namun jika tidak diikuti dengan strategi dan tak-tik yang baik, maka sering tampil eksklusif dan terkadang terlihat tidak realistis, bahkan cita-cita mulianya dinilai oleh banyak kalangan sebagai sesuatu yang utopis.
Kedua, membolehkan Sistem Demokrasi dalam kondisi darurat atau hajat yang sangat, seperti negara yang tidak menyediakan koridor politik kecuali hanya Sistem Demokrasi dan disana ada kepentingan umat Islam yang wajib dijaga dan dilindungi.
Kelompok ini secara prinsip tidak ada
masalah sepanjang hanya sekedar memanfaatkan demokrasi untuk keselamatan
umat, dan selama tetap mengakui bahwa Sistem Demokrasi bukan bagian
dari ajaran Islam serta tetap memperjuangkan penerapan Sistem Islam.
Namun, jika tidak waspada dan hati-hati, maka kelompok ini sering
terbuai ikut "menikmati" Demokrasi, sehingga lupa prinsip semula,
akibatnya banyak kalangan menilai sebagai sikap hipokrit.
Jatidiri Partai Islam
Terlepas dari perbedaan sikap dua kelompok Gerakan Islam, maka
seyogyanya kedua kelompok tetap saling menghormati dan menghargai.
Bahkan sepatutnya kedua kelompok bekerja-sama saling menguatkan satu
sama lainnya. Setidaknya masing-masing menjaga diri agar tidak bisa
diadu-domba oleh pihak ketiga.
Bagi kelompok kedua yang membolehkan Sistem Demokrasi dalam kondisi
darurat atau hajat yang sangat, harus selalu menyadari bahwasanya mereka
hanya sekedar memanfaatkan demokrasi untuk keselamatan umat, dan mereka
harus tetap mengakui bahwasanya Sistem Demokrasi bukan bagian dari
ajaran Islam, serta mereka mesti tetap memperjuangkan penerapan Sistem
Islam. Dengan demikian, mereka tidak terbuai ikut menikmati Demokrasi,
dan tidak pula bergeser dari niat dan tujuan semula.
Dalam setiap langkah dan kebijakan, kelompok kedua yang membentuk diri
menjadi Partai Islam harus selalu berusaha memperkenalkan,
mensosialisasikan, menyebarluaskan dan mengkampanyekan Sistem Islam.
Partai Islam harus selalu menekankan bahwasanya Sistem Islam adalah
sistem yang terbaik. Partai Islam tidak boleh sekali-kali memuji apalagi
mengakui Sistem Demokrasi sebagai bagian dari ajaran Islam.
Partai Islam tidak boleh ragu untuk selalu menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram. Partai Islam tidak boleh bimbang memperjuangkan
penerapan Syariat Islam. Partai Islam harus memperjuangkan sistem
pendidikan yang Islami, sistem ekonomi yang syar'i, sistem media yang
akhlaqi, sistem politik yang qur'ani dan sistem masyarakat yang nabawi.
Partai Islam tidak boleh bosan melawan segala bentuk kemunkaran. Partai
Islam harus bekerja keras membendung terorisasi umat Islam, membubarkan
aliran sesat, memerangi perdukunan, memberantas korupsi, menolak
peredaran minuman keras dengan berbagai jenisnya, menutup lokalisasi
pelacuran, melawan pornografi dan pornoaksi, menangkal homoseksual dan
lesbianisme, serta membasmi mafia hukum.
Setiap aktivis Partai Islam harus beriman dan bertaqwa serta berakhlaqul
karimah. Ucapan dan Tindakan serta sikap setiap aktivis Partai Islam
mesti mencerminkan ajaran Islam. Partai Islam harus berani menindak
tegas setiap aktivisnya yang tidak bersih.
Elektabilitas Partai Islam
Pada Pemilu Pertama tahun 1955 suara Partai Islam yang diwakili Partai
Masyumi dan Partai NU masing-masing memperoleh 57 dan 45 kursi dari
jumlah total kursi 257 di Parlemen atau masing-masing memperoleh 20,9 %
dan 18,4 % dari seluruh total suara. Dan pada pemilu-pemilu selanjutnya
suara gabungan Partai Islam tidak pernah lebih baik darinperolehan dalam
Pemilu 1955 tersebut. Bahkan makin hati perolehan suara gabungan Partai
Islam makin merosot. Kecilnya perolehan suara Partai Islam dalam setiap
pemilu di Indonesia bisa disebabkan karena adanya kecurangan dalam
pelaksanaan pemilu oleh rezim penguasa, sebagaimana sudah menjadi
rahasia umum. Namun bisa juga karena memang Partai Islam kurang
diminati, sehingga tingkat Elektabilitas Partai Islam menjadi sangat
rendah.
Bahkan kini muncul semacam "mosi tidak percaya" dari umat terhadap
Partai Islam, sehingga lahirlah dorongan-dorongan untuk mendirikan
Partai Islam baru yang betul-betul menjadi Partai Islam sejati. Sikap
ini merupakan akumulatif kekecewaan terhadap kinerja Partai-Partai Islam
selama ini. Namun demikian, jika diamati dengan cermat, ternyata inti
kekecewaan umat sebenarnya terletak pada jurang perbedaan pemahaman pola
pikir antara Partai dan Umat di bawah (Awam). Partai lebih fokus kepada
"hukum" (ijtihad politik), sedang Awam terpaku pada "etika".
Apa beda hukum dan etika ? Sebagai ilustrasi, jika seorang Ulama dengan
atribut keulamaannya bermusafir di bulan Ramadhan, lalu makan siang di
sebuah restoran, maka secara "hukum" dia tidak salah karena musafir
boleh tidak berpuasa, namun secara "etika" sulit diterima oleh Awam
karena Ulama adalah panutan.
Hukum dan Etika
Aneka tingkah laku dan gerakan Partai-Partai Islam yang selama ini
disaksikan Awam telah menimbulkan keresahan di tengah kehidupan umat
sebagai pemilih terbesar Partai Islam. Keresahan tersebut sebagai
refleksi perbedaan penafsiran hukum dan etika antara Partai dan Awam
dalam berbagai peristiwa, antara lain :
Pertama, tatkala berbagai Ormas Islam dan sejumlah Partai Islam sedang
mati-matian memperjuangkan pengembalian Piagam Jakarta di DPR/MPR RI,
justru ada Partai Islam lain yang menggebu-gebu mementahkannya dengan
dalih memperjuangkan Piagam Madinah, dan seorang Petinggi Partai Islam
lainnya memberi pernyataan bahwa Piagam Jakarta adalah masa lalu, dan
yang lainnya lagi menyatakan amandemen UUD 1945 sudah final. Secara
ijtihad politik sah-sah saja, namun secara etika membingungkan Awam.
Kedua, tatkala sejumlah Partai Islam telah sepakat membangun Fraksi
Islam di DPR/MPR RI sebagai wujud persaudaraan dan persatuan, tiba-tiba
ada Partai Islam yang lebih suka berkoalisi dengan Partai lain dengan
dalih reformasi. Secara ijtihad politik bisa dijelaskan, namun secara
etika mengagetkan Awam.
Ketiga, sejumlah Partai Islam saat kampanye berteriak mengharamkan
Presiden Wanita, tapi ketika mereka harus menggulingkan Presiden Pria
dengan konsekwensi Presiden Wanita yang naik, mereka kerjakan juga
dengan dalih "darurat". Padahal mereka punya alternatif untuk
memperjuangkan Pemilu Ulang, tapi kenyataannya tidak ada formulasi
perjuangan politik ke arah sana, bahkan mereka ikut bagi-bagi kue
kekuasaan bersama Presiden Wanita yang semula mereka haramkan. Secara
ijtihad politik bisa dipahami, namun secara etika sulit diterima Awam.
Keempat, sejumlah Partai Islam saat kampanye berkomitmen hanya akan
mengajukan caleg muslim, namun kenyataannya mereka mengajukan
caleg-caleg non muslim di sejumlah daerah dengan dalih terpaksa karena
daerah mayoritas non muslim, padahal di daerah tersebut masih ada orang
Islam yang bisa dicalonkan. Secara ijtihad politik bisa didiskusikan,
namun secara etika menghilangkan kepercayaan Awam.
Kelima, ada politisi wanita senior dari Partai Islam tidak pernah
mengenakan busana muslimah sebagaimana mestinya, dia hanya mencukupkan
diri dengan kebaya dan kerudung ala kadarnya, dalihnya Islam tidak boleh
dipaksakan dan perlu tahapan dalam penerapannya, yang penting sopan.
Secara ijtihad politik mungkin masih ada ruang debat, namun secara etika
tidak mudah dimengerti oleh Awam.
Keenam, ada petinggi Partai Islam yang istrinya tidak berjilbab dan
dipamerkan di depan Awam secara terbuka, alasannya masih dalam proses
da'wah. Secara ijtihad politik bisa dimengerti selama da'wah terhadap
sang istri tetap berjalan, namun secara etika membingungkan Awam.
Ketujuh, saat berbagai Ormas Islam dan sebagian Partai Islam
memperjuangkan Pembubaran Ahmadiyah, terlihat jelas sebagian Partai
Islam lainnya tidak punya semangat untuk itu, kecuali sekedar andil buat
pernyataan di media, atau menyurati Presiden secara sembunyi-sembunyi,
tanpa langkah konkrit yang menggigit. Bahkan ada Partai Islam yang tidak
ambil bagian dalam Aksi Sejuta Umat untuk Pembubaran Ahmadiyah, kecuali
sekedar pasang Bendera dan Spanduk serta membagi-bagi Selebaran.
Ironisnya, ada pimpinan Partai Islam yang justueru ikut membela
Ahmadiyah agar tudak dibubarkan. Secara ijtihad politik bisa dipahami
sebagai sebuah strategi, namun secara etika menyakitkan Awam.
Kedelapan, saat berbagai Ormas Islam yang Anti Ahmadiyah dan Pro RUU APP
berhadap-hadapan secara terbuka dengan Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (AKKBB) yang Pro Ahmadiyah dan Anti
RUU APP, justru ada Partai Islam yang memberi penghargaan kepada
sejumlah Tokoh AKKBB.
Kesembilan, saat ada kepentingan Partai yang dirugikan atau ada agenda
Partai yang harus diusung maka ada Partai Islam mampu melakukan aksi
unjuk rasa dengan ratusan ribu manusia, namun tatkala ada kepentingan
Umat atau ada agenda penting Umat yang mesti diusung, justeru mereka
enggan menurunkan seorang pun dari massa mereka dengan dalih bukan
agenda partai atau "kelompok" nya. Secara ijtihad politik bisa dimaklumi
karena adanya rambu-rambu politik, namun secara etika sangat
mengecewakan Awam.
Kesepuluh, saat berbagai Ormas Islam ingin menyalurkan aspirasi melalui
DPR RI, terkadang sulit menemui para sahabatnya dari kalangan Partai
Islam, bahkan ada yang enggan menerima karena menganggap bukan dari
”kelompok”nya. Padahal, Ormas-Ormas Islam inilah pensuplay suara
terbesar bagi Partai-Partai Islam tersebut saat Pemilu. Inilah yang
paling tidak dimengerti oleh Awam.
Selain itu, ditambah lagi dengan aneka perilaku sejumlah politisi dari
Partai Islam yang terlibat Korupsi, Pornografi, Skandal Sex, Premanisme,
dan lain sebagainya.
Umat dan Golput
Aneka Fakta di atas, kiranya cukup membuat Awam menilai bahwa Partai
Islam sama dengan Partai Sekuler lainnya, bahkan ada yang menilai bahwa
Partai Islam hanya "Jualan Islam", sehingga Awam tidak merasa ada beban
saat meninggalkan Partai Islam. Parahnya lagi, kini ada Partai Islam
yang didirikan dengan susah payah oleh seorang Kyai Kondang, yang
kemudian setelah ditinggal pergi oleh sang Kyai, kini justeru menjadi
penampungan bagi aktivis kiri yang berhaluan komunis / sosialis. Masalah
menjadi semakin runyam bagi Awam ketika Partai-Partai Sekuler ikut
"Jualan Islam" dengan berbagai macam cara dan teknik. Mereka ramai-ramai
mendirikan Majelis Dzikir Politik, Ta’lim Politik, Iqra’ Politik,
Istighotsah Politik, Maulid Politik, Umrah dan Haji serta Ziarah
Politik, dan sebagainya.
Ketidak-mengertian Awam terhadap strategi dan trik politik Partai Islam
membuat mereka kebingungan, sehingga tidak heran jika terjadi
peningkatan apatisme politik di kalangan Awam terhadap Partai Islam.
Jangankan Awam, terkadang elite Ormas Islam saja kebingungan menafsirkan
manuver politik Partai-Partai Islam. Inilah yang mendorong Awam
tertarik dengan sikap tidak menggunakan hak pilih alias "Golput".
Sungguh tidak Arif jika kita menyalahkan Awam, apalagi sampai
membodoh-bodohkan mereka. Dengan jujur harus kita akui bahwa Awam ini
kelompok yang lugu dan polos, dan harus diakui pula bahwa Awam ini
adalah ”Pemilih” yang sangat menentukan, sehingga mereka wajib dihargai
dan dihormati.
Nasihat dan Saran
Saya mengajak semua elite politik Partai Islam untuk mencermati
"Pemahaman Awam" yang sangat lugu dan polos tentang "Etika Politik
Islam", agar ke depan Partai Islam mampu memposisikan diri sebagai wadah
aspirasi politik mereka yang islami. Sepuluh poin yang saya paparkan di
atas hanya sebagian kecil saja dari masalah yang melibatkan pelbagai
Partai Islam. Disana ada segudang masalah yang perlu dicermati dengan
seksama dan dicarikan solusinya untuk pengembangan Partai Islam secara
optimal agar mendapatkan kemenangan yang maksimal.
Antar Partai Islam harus sinergi, lebih bagus lagi jika ke depan bisa
disatukan, sehingga yang muncul hanya satu Partai Islam. Ormas Islam
boleh berbilang, tapi Partai Islam jangan, sebab Ormas hanya menggeluti
kegiatan sosial kemasyarakatan tanpa bersentuhan langsung dengan
kekuasaan, sedang Partai Islam langsung bersentuhan dengan kekuasaan.
Ormas Islam tidak ikut pemilu, sedang Partai Islam ikut pemilu, sehingga
umat tidak dibebani untuk memilih Ormas Islam, tapi umat terbebankan
dengan memilih Partai Islam.
Andaikata pun Partai Islam belum bisa disatukan, setidaknya bisa
membangun satu Fraksi Islam saja di parlemen yang menghimpun semua
Partai Islam. Kalau pun belum bisa juga, maka sekurangnya harus
bersinergi antar sesama Partai Islam. Intinya, banyaknya Partai Islam
tidak boleh menjadi alasan perpecahan politik Islam, tapi harus menjadi
pembagian peran dan tugas dalam menggapai kemenangan politik untuk umat
Islam.
Dan sudah seyogyanya, ormas-ormas Islam bahu membahu membantu penguatan
dan pemenangan Partai Islam. Dan saya yakin, ormas-ormas Islam akan
secara tulus dan ikhlas melakukan hal tersebut andai Partai Islam sudah
bisa menempatkan diri sebagai Partai Islam sejati yang istiqomah di
jalan Allah SWT. Ingat, Partai Islam sejati hanya mencari ridho Allah
SWT, sehingga kursi dan jabatan bukan tujuan, melainkan hanya wadah dan
sarana untuk mencapai tujuan yaitu ridho Allah SWT.
Semoga Allah SWT menyatukan umat Islam dalam penegakan hukum-Nya, dan
menguatkan para pejuang agama-Nya, serta selalu memberkahinya dengan
kemenangan yang hakiki. Aamiiin.
sumber : suara islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar