Sebelum berdirinya peradaban Islam, hanya ada dua
peradaban besar yaitu bangsa romawi dan bangsa persia.
Pada saat itu telah
digunakan akuntansi dalam bentuk perhitungan barang dagangan oleh para
pedagang. Dari sejak pergi berdagang sampai pulang kembali.
Perhitungan dilakukan untuk
mengetahui perubahan-perubahan, untung dan rugi. Selain itu orang yahudi banyak
melakukan perdagangan menetap dan mencatat piutang mereka.
Dari
studi peradaban sejarah Arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa
Arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang Arab untuk
mengetahui dan menghitung barang dagangannya. Hitungan ini dilakukan untuk
mengetahui perubahan-perubahan pada keuangan, baik keuntungan maupun kerugian. Hal ini biasa dilakukan
karena saudagar-saudagar arab itu biasanya mengadakan dua kali perjalanan
dagang dalam setahun,
seperti yang dinyatan dalam firman Alloh Subhanahu wa
ta’ala yang artinya:
“Karena
kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka berpergian pada musim
dingin dan musim panas. Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah
ini (ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS.Al Quraisy: 39).
Adapun
tujuan akuntansi di kalangan bangsa Arab pada waktu itu adalah untuk mengetahui
perubahan aset, dan bagi pedagang yang menetap, mereka menggunakan akuntansi
sebagai sarana untuk mengetahui utang-utang dan di piutang.
Setelah
Islam muncul di semenanjung Arab di bawah
pimpinan Rasulullah, serta telah terbentuknya Daulah Islamiyah di Madinah.
Mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maliah
(keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan,
perjudian, pemerasan, monopli, dan segala usaha unuk mengambil harta orang lain
secara batil.
Rasulullah mulai
mengembangkan praktik
akuntansi setelah ada perintah Allah melalui Alqur’an untuk mencatat transaksi
tidak tunai yaitu pada
Surat Al Baqarah ayat 282, “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. dan perintah membayar zakat yaitu pada Surat Al
Baqarah ayat 43, “Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
Pencatatan
keuangan lebih ditekankan oleh Rasulullah.
Ia mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini
dan mereka diberi sebutan khusus yaitu hafa
zhatul amwal (pengawas keuangan). Para sahabat rasul dan para pemimpin umat
Islam juga menaruh perhatian yang tinggi
terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagaimana yang terdapat dalam sejarah
Khulafaurrasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka adalah untuk mengetahui
utang dan piutang serta perputaran uang, seperti pemasukan dan pengeluaran.
Juga difungsikan untuk merinci dan menghitung harta keseluruhan untuk
menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu. Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada
waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan,
akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara.
Islam
telah mulai melakukan akuntansi sejak abad pertama Islam diajarkan Rasulullah,
sebagaimana tersebut di bawah ini:
1.
Umar Ibnul-Khatab berkata: Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab dan
timbanglah kamu sebelum kamu ditimbang dan bersiaplah untuk menghadapi hari
dimana semua amal dibeberkan.
2.
Imam Syafi’i berkata: Siapa yang mempelajari hisab atau perhitungan, luas
pikirannya.
3.
Ibnu Abidin: Catatan atau pembukuan seseorang agen (makelar) dan kasir bisa menjadi bukti berdasarkan kebiasaan
yang berlaku.
Islam
mendirikan institusi administratif yang
hampir hampir tidak mungkin dilakukan pada abad ketujuh sesudah masehi. Pada tahun 16 H Abu Hurairah, Amil
Bahrain, mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj itu adalah jumlah yang besar sehingga
khalifah mengadakan pertemuan dengan
majelis syura untuk menanyai mereka dan kemudian di putuskan bersama bahwa
jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan melainkan untuk disimpan sebagai
cadangan darurat yang berkaitan dengan ummah. Untuk menyimpan dana tersebut
baitulmaal yang reguler dan permanen di dirikan untuk pertama kalinya di ibi
kota dan kemudian dibangun di cabang-cabangnya. Baitulmaal secara tidak
langsung bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah
adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut.
Sedangkan
di Indonesia perkembangan akuntansi syariah di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari proses pendirian Bank Syariah. Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI)
merupakan landasan awal diterapkannya
ajaran Islam menjadi pedoman
bermuamalah. Pendirian ini dimulai dengan serangkaian proses perjuangan sekelompok masyarakat dan
para pemikir Islam dalam upaya mengajak
masyarakat Indonesia bermuamalah yang sesuai dengan ajaran agama. Kelompok ini
diprakarsai oleh beberapa orang tokoh Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada waktu itu,
sekitar tahun 1990-199.
Setelah
didirikannya bank syariah, terdapat keganjilan ketika bank membuat laporan
keuangan. Dimana pada waktu itu proses akuntansi belumlah mengacu pada akuntansi yang dilandasi syariah Islam.
Maka selanjutnya munculah kebutuhan akan akuntansi syariah Islam. Dan dalam
proses kemunculannya tersebut juga mengalami proses panjang.
Berdirinya
bank syariah tentunya membutuhkan seperangkat aturan yang tidak terpisahkan,
antara lain, yaitu peraturan perbankan, kebutuhan pengawasan, auditing,
kebutuhan pemahaman terhadap produk-produk syariah dan Iain-Iain. Dengan
demikian banyak peneliti yang meyakini bahwa kemunculan kebutuhan, pengembangan
teori dan praktik akuntansi syariah adalah karena berdirinya bank syariah.
Pendirian bank syariah adalah merupakan salah satu bentuk implementasi ekonomi
Islam.
Dengan demikian, berdasarkan data dokumen, dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan sejarah pemikiran tentang akuntansi syariah adalah setelah adanya standar akuntansi perbankan syariah, setelah terbentuknya pemahaman yang lebih konkrit tentang apa dan bagaimana akuntansi syariah, dan terbentuknya lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada akuntansi syariah. jadi secara historis, sejak tahun 2002 barulah muncul ide pemikiran dan keberadaan akuntansi syariah, baik secara pengetahuan umum maupun secara teknis. Sebagai catatan, IAI baru membentuk Komite Akuntansi Syariah di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar