Minggu, 25 Maret 2012

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH


Sebelum berdirinya peradaban Islam, hanya ada dua peradaban besar yaitu bangsa romawi dan bangsa persia. Pada saat itu telah digunakan akuntansi dalam bentuk perhitungan barang dagangan oleh para pedagang. Dari sejak pergi berdagang sampai pulang kembali. Perhitungan dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan, untung dan rugi. Selain itu orang yahudi banyak melakukan  perdagangan menetap dan mencatat piutang mereka.

Dari studi peradaban sejarah Arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa Arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang Arab untuk mengetahui dan menghitung barang dagangannya. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan pada keuangan, baik keuntungan  maupun kerugian. Hal ini biasa dilakukan karena saudagar-saudagar arab itu biasanya mengadakan dua kali perjalanan dagang dalam setahun,
seperti yang dinyatan dalam firman Alloh Subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan musim panas. Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS.Al Quraisy: 39).

Adapun tujuan akuntansi di kalangan bangsa Arab pada waktu itu adalah untuk mengetahui perubahan aset, dan bagi pedagang yang menetap, mereka menggunakan akuntansi sebagai sarana untuk mengetahui utang-utang dan di piutang.

Setelah Islam muncul di semenanjung Arab di bawah  pimpinan Rasulullah, serta telah terbentuknya Daulah Islamiyah di Madinah. Mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan, perjudian, pemerasan, monopli, dan segala usaha unuk mengambil harta orang lain secara batil.

Rasulullah mulai mengembangkan praktik akuntansi setelah ada perintah Allah melalui Alqur’an untuk mencatat transaksi tidak tunai  yaitu pada Surat Al Baqarah  ayat 282, “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.  dan perintah membayar zakat yaitu pada Surat Al Baqarah ayat 43, Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah  zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.

Pencatatan keuangan  lebih ditekankan oleh Rasulullah. Ia mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan  khusus yaitu hafa zhatul amwal (pengawas keuangan). Para sahabat rasul dan para pemimpin umat Islam juga menaruh  perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagaimana yang terdapat dalam sejarah Khulafaurrasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka adalah untuk mengetahui utang dan piutang serta perputaran uang, seperti pemasukan dan pengeluaran. Juga difungsikan untuk merinci dan menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu. Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran  negara.


Islam telah mulai melakukan akuntansi sejak abad pertama Islam diajarkan Rasulullah, sebagaimana tersebut di bawah ini:
1. Umar Ibnul-Khatab berkata: Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab dan timbanglah kamu sebelum kamu ditimbang dan bersiaplah untuk menghadapi hari dimana semua amal dibeberkan.
2. Imam Syafi’i berkata: Siapa yang mempelajari hisab atau perhitungan, luas pikirannya.
3. Ibnu Abidin: Catatan atau pembukuan seseorang agen (makelar) dan  kasir bisa menjadi bukti berdasarkan kebiasaan yang berlaku.

Islam mendirikan  institusi administratif yang hampir hampir tidak mungkin dilakukan pada abad  ketujuh sesudah  masehi. Pada tahun 16 H Abu Hurairah, Amil Bahrain, mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham  kharaj itu adalah jumlah yang besar sehingga khalifah  mengadakan pertemuan dengan majelis syura untuk menanyai mereka dan kemudian di putuskan bersama bahwa jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan melainkan untuk disimpan sebagai cadangan darurat yang berkaitan dengan ummah. Untuk menyimpan dana tersebut baitulmaal yang reguler dan permanen di dirikan untuk pertama kalinya di ibi kota dan kemudian dibangun di cabang-cabangnya. Baitulmaal secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut.

Sedangkan di Indonesia perkembangan akuntansi syariah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses pendirian Bank Syariah. Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan landasan  awal diterapkannya ajaran Islam  menjadi pedoman bermuamalah. Pendirian ini dimulai dengan serangkaian  proses perjuangan sekelompok masyarakat dan para pemikir Islam dalam  upaya mengajak masyarakat Indonesia bermuamalah yang sesuai dengan ajaran agama. Kelompok ini diprakarsai oleh beberapa orang tokoh Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada waktu itu, sekitar tahun 1990-199.

Setelah didirikannya bank syariah, terdapat keganjilan ketika bank membuat laporan keuangan. Dimana pada waktu itu proses akuntansi belumlah mengacu  pada akuntansi yang dilandasi syariah Islam. Maka selanjutnya munculah kebutuhan akan akuntansi syariah Islam. Dan dalam proses kemunculannya tersebut juga mengalami proses panjang.
Berdirinya bank syariah tentunya membutuhkan seperangkat aturan yang tidak terpisahkan, antara lain, yaitu peraturan perbankan, kebutuhan pengawasan, auditing, kebutuhan pemahaman terhadap produk-produk syariah dan Iain-Iain. Dengan demikian banyak peneliti yang meyakini bahwa kemunculan kebutuhan, pengembangan teori dan praktik akuntansi syariah adalah karena berdirinya bank syariah. Pendirian bank syariah adalah merupakan salah satu bentuk implementasi ekonomi Islam.

Dengan demikian, berdasarkan data dokumen, dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan sejarah pemikiran tentang akuntansi syariah adalah setelah adanya standar akuntansi perbankan syariah, setelah terbentuknya pemahaman yang lebih konkrit tentang apa dan bagaimana akuntansi syariah, dan terbentuknya lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada akuntansi syariah. jadi secara historis, sejak tahun 2002 barulah muncul ide pemikiran dan keberadaan akuntansi syariah, baik secara pengetahuan umum maupun secara teknis. Sebagai catatan, IAI baru membentuk Komite Akuntansi Syariah di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar