Minggu, 01 April 2012

Sistem Keuangan Syariah


Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah, seperti infak, zakat, pergi haji, perang (jihad) dan sebagainya.
Kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah.

Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain :
1.      Tidak boros dan tidak kikir
2.      Memberi infak dan shodaqoh
3.      Membayar zakat sesuai ketentuan
4.      Memberi pinjaman tanpa bunga (qarditul hasan)
5.      Meringankan kesulitan orang yang berutang
Di dalam sistem keuangan syariah sistem perjanjian sebelum melakukan transaksi yang dinamakan akad. Akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah, yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Menurut Abdul Razak Al-Shanhuri, akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut.
Adapun jenis-jenis akad antara lain :
a.       Akad tabarru’ yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba. Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan.
b.      Akad tijarah atau muawadah yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi untuk laba. Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, oleh karena itu bersifat komersial.
Rukun dan syarat sahnya suatu akad ada tiga, yaitu :
a.       Pelaku
Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual) dan pembeli, penyewa, dan yang menyewakan, karyawan dan majikan, shahibul maal dan mudharib.
b.      Objek
Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang dagangan. Objek mudharabah dan musyarakah adalah modal dan kerja. Objek sewa-menyewa adalah manfaat atas barang yang disewakan dan sebagainya.
c.       Ijab qabul
Ijab qabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjkkan mereka saling ridha. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu pihak yang terpaksa melakukannya, dan oleh karenanya akad dapat menjadi batal.
Selain sistem perjanjian sistem keuangan islam juga mengatur kegiatan – kegiatan yang dilarang dalam bertransaksi menurut aturan islam yakni :
1.      Aktivitas Bisnis Terkait Barang dan Jasa yang Diharamkan Allah
Merupakan aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang dan jasa yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang memabukkan, narkoiba, dan sebagainya.
2.      Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-nuwuw), meningkat (al-irtifa’) dan membesar (al-‘uluw). Menurut Imam Sarakhzi, riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.



3.      Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan dapat terjadi dalam empat hal, yaitu : dalam kuantitas, dalam kualitas, dalam harga, dan dalam waktu penyerahannya.
4.      Perjudian
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua belah pihak atau lebih, dimana mereka menyerahkan uang atau harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, kuis sms, tebak skor bola, atau media lainnya.
Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertanya. Sebaliknya, apabila dalam undian itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh yang menang.
5.      Transaksi yang Mengandung Ketidakpastian / Gharar
Syariah melarang transaksi yang mengandung ketidakpastian (ghara). Gharar terjadi ketika terdapat incomplete information, sehingga ada ketidakpastian antara dua belah pihak yang bertransaksi. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan pertikaian antara para pihak dan ada pihak yang dirugikan. Ketidakjelasan dapat terjadi dalam lima hal, yaitu : dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan, dan akad.
6.      Penimbunan Barang / Ihtikar
Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemusian menimpannya, sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga.
Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya atau sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain, penimbun mendapatkan keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang lain.
7.      Monopoli
Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang, walaupun seorang monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli, biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.
8.      Rekayasa Permintaan (Bai’an Najsy)
An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan, karena merekayasa permintaan dimana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi, agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi.
9.      Suap
Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada di dalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
10.  Penjual Bersyarat / Ta’alluq
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.
11.  Pembelian Kembali oleh Penjual dari Pihak Pembeli (Bai’al Inah)
Misalnya, A menjual secara kredit pada B kemudian A membeli kembali barang yang sama dari B secara tunai. Dari contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang seolah-olah melakukan jual-beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatkan barang, melainkan A mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B mengharapkan kelebihan pembayaran.
12.  Jual Beli dengan Cara Talaqqi Al-Rukban
Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, dimana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya, sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka.
Sedangkan kegiatan – kegiatan dalam bertransaksi yang dianjurkan dan dihalalkan dalam sistem keuangan islam dapat dikelompokkan sebagai berikut :



1.      Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract.
a.       Mudharabah
Mudharabah adalah suatu perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan dana, dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan ratio laba yang disepakati bersama, dan kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan dan kelalaian oleh mudharib.
b.      Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi antara para pemilik modal untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalm suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.
2.      Akad jual beli atau sewa-menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty contract.
a.       Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan dan keuntungan yang disepakati antara oenjual dan pembeli.
b.      Salam
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayarannya dilakuakan secara tunai.
c.       Istishna’
Istishna’ memiliki sistem yang mirip dengan saham, namun dalam istishna’ pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan dalam beberapa kali atau ditangguhkan selama jangka waktu tertentu.
d.      Ijarah
Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan manfaat atas objek sewa yang disewakan.
3.      Akad lainnya
a.       Sharf
Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis maupun yang tidak sejenis.
b.      Wadiah
Wadiah dapat didefinisikan sebagai akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak pertama titipan wajib menyerahkan kembali auang atau barang titipan tersebut.
 c.       Qardhul Hasan
Pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbala, waktu pengembalia pinjaman ditetapkan bersama antara pemberi dan penerima pinjaman.
d.      Al-Wakalah
Wakalah adalah  mewakilkan suatu urusan kepada orang lain untuk bertindak atas namanya. Dengan kata lain wakalah dapat diartikan sebagai jasa pemberian kuasa dari satu pihak ke pihak lain, dan untuk jasanya itu, yang dititipkan dapat memperoleh fee sebagai imbalan.
e.       Kafalah
Kafalah adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang satu pihak pada pihak lain.
f.       Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas dasar saling mempercayai. Dengan kata lain, hiwalah adalah proses pemindahan tanggung jawab pembayaran hutang dimana A mempunyai hutang ke C dan dalam waktu yang sama, B mempunyai hutang ke A, atas persetujuan bersama B melunasi hutang A ke C.
g.      Rahn
Rahn merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan asset berupa penahanan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar